Friday, March 28, 2008

Untuk Menjadi Orang Besar

"Saya tidak terlalu mempermasalahkan SDM", kata seorang kawan (mungkin lebih tepatnya rekan). Dia menjawab seperti itu setelah saya mewacanakan padanya bahwa SDM yang ada dalam sebuah organisasi yang baru kita bentuk sedikit sekali, jadi saya agak khawatir dalam penyusunan struktur nanti. "Yang penting, mulai dari sekarang kita semua harus kerja keras", lanjutnya.

Dari satu sisi saya sepakat dengan rekan saya ini. Tapi di sisi lain, kuantitas tetaplah diperlukan karena tetap saja kita tidak bisa mengajak orang untuk bekerja keras padahal orangnya memang tidak berada di sana. Ataupun kami yang harus bekerja keras ini pada saat yang sama juga dituntut untuk bekerja keras di tempat lain. Saya jadi ingat tim saya di tempat lain, yang masing-masing anggotanya lagi sibuk mengurusi akademik masing-masing, ada yang skripsi, ada yang mengikuti pemilihan mapres di kampusnya, atau bahkan siap-siap mau SPMB. Otomatis saya juga harus bekerja keras disana.

Sunday, March 9, 2008

Mengapa Kita Masih Saja Mempermasalahkan “Pernah”?

Suatu hari saya menghadiri sebuah talk show untuk ADS dan ADK, salah satu pembicaranya adalah seorang pakar pendidikan. Satu hal yang kemudian membuat simpati saya kepada pembicara tersebut jauh berkurang adalah kenyataan bahwa pakar pendidikan tersebut bertanya pada kami semua (dan ternyata pertanyaan ini senantiasa dia lontarkan setiap beliau menjadi pembicara di berbagai kesempatan) adalah “siapa disini yang pernah mencontek?”. Pertanyaan yang kemudian dijawab dengan acungan tangan kami semua (karena ternyata semua audience pernah mencontek di masa lalunya). Kemudian si pakar pendidikan inipun berkata “bagaimana dengan masa depan bangsa ini kalau pemudanya pernah mencontek!”

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya menghadiri forum yang pembicaranya beliau. Dan ini juga bukan kali pertama saya mendengar pertanyaan itu terlontar dari beliau. Tapi saat itu adalah kali pertama saya begitu tidak setuju dengan pertanyaan beliau. Kenapa harus menggunakan kata pernah? Kenapa kita harus mengungkit masa lalu kita yang kurang baik untuk mengukur diri kita yang sekarang atau masa depan kita? Sebuah kata “pernah” sungguh mengusik saya, karena menurut saya pertanyaan yang lebih pantas dilontarkan adalah “siapa yang sampai saat ini masih suka mencontek?” atau “siapa yang belum bertaubat dari kebiasaan mencontek?”

Begitulah manusia, sulit melupakan hal-hal negatif. Seperti sebuah peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga. Seolah-olah seseorang sudah tidak ada lagi kebaikannya kalau sudah melakukan sebuah kesalahan. Seperti kisah seorang teman yang karena sebuah kisah masa lalunya, kehidupannya saat ini jadi begitu sulit, banyak kesempatan yang harusnya dimilikinya tapi tidak dia dapatkan. Padahal masa lalunya, yang menurut orang lain bercela, sebenarnya karena fitnah dari orang lain terhadapnya, bukan kenyataan yang sebenarnya.

Betapa banyak mantan narapidana yang mengalami kesulitan dalam menjalani episode kehidupannya yang berikutnya karena pandangan masyarakat sekitarnya. Kecurigaan, rasa tidak percaya, dan pandangan meremehkan senantiasa mengikutinya kemana saja. Betapa banyak pasien Rumah Sakit Jiwa yang kembali lagi masuk dan dirawat disana setelah dinyatakan sembuh dan dipulangkan. Karena stigma negatif masyarakat kepadanya sebagai “pernah gila” dan omongan-omongan tetangga yang begitu santer “eh dia kan baru keluar dari RSJ”. Hal-hal yang memicu Gangguan Harga Diri-nya timbul lagi dan membuatnya kembali sakit. Itulah alasan kenapa kami (perawat) tidak menggunakan kata “gila” dan memilih “gangguan jiwa”.

Apapun masa lalu kita, tatap tegak masa depan, begitulah ungkapan di sebuah sticker. Ungkapan yang menurut saya harus diinternalisasi oleh kita semua. Atau kalau boleh saya mengubah sedikit “apapun masa lalu orang lain, hargailah dirinya yang sekarang”. Karena RasuluLAH SAW pun mencontohkan kepada kita, beliau tidak pernah bertanya pada sahabatnya “siapa disini yang pernah membunuh anak perempuanya?”, “siapa disini yang pernah berjudi atau minum khamr” dsb, tapi yang beliau tanyakan adalah “siapa yang hari ini sudah bersedekah? Siapa hari ini yang sudah menjenguk orang sakit? dll” Karena Umar bin Khattab ra saja yang seorang mantan preman dan bahkan pernah membunuh anak perempuannya sendiri, adalah salah satu sahabat terbaik RasuluLLOH SAW dan salah satu orang pilihan yang dijamin masuk surga.

Maka pantaskah kita bila sampai saat ini masih saja mempermasalahkan “pernah”?