Sunday, April 26, 2009

Kenapa Harus Berbuat Baik?

“why are you so kind young girl?!”

Beberapa hari lalu seseorang meminta tolong kepada saya—meskipun sebenarnya tidak jelas minta tolong atau memerintah karena dia memakai embel-embel “saya beri waktu anda sampai jam 12. Trims” di akhir sms-nya. Tapi pada akhirnya saya melakukan apa yang dia minta juga, sebatas kemampuan saya. Sampai setelah urusannya selesai, dia bertanya “why are you so kind young girl?!” dan saya jawab dengan “karena ALLAH mencintai orang-orang yang berbuat baik (innALLAHa yuhibbul muhsinin)”. Ah, padahal yang saya lakukan tidak ada apa-apanya, saya cuma berkorban waktu dan sms kok, sepertinya saya juga masih jauh dari kriteria berbuat baik dan memasukkan saya dalam kategori muhsinin.

Begitulah, di hari sata menerima sms itu, paginya saya habis mengisi materi al ihsaan, artinya berbuat baik. Seperti dituangkan dalam hadis “Sesungguhnya ALLAH mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal” (HR Muslim), maka ihsan selayaknyalah menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim. Dan pertanyaan, kenapa kamu begitu baik? Atau kenapa kamu berbuat baik? Tidaklah perlu ditanyakan, karena kebaikan sudah menjadi ruh setiap orang.

Ihsan yang dimaksud sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan “kind” yang dimaksud dalam sms. Menurut saya “kind” ini lebih mengacu pada kebajikan atau shodaqoh (setiap yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain adalah shodaqoh), tapi waktu itu pikiran saya langsung mengacu pada ihsan ini. Ihsan yang dimaksud adalah tidak sekedar berbuat baik, tapi melakukan sesuatu dengan baik dan benar, melakukan sesuatu sesempurna mungkin dan menjaga seluruh adab yang bisa menjadikan kesempurnaan perbuatan yang dilakukan. Ihsan berarti paket dari ikhlashun niyat (niat yang ikhlas), itqoonul ‘amal (pekerjaan yang tertib/professional), dan jaudatul adaa’ (penyelesaian yang baik).

Ihsan adalah cirri orang yang menyadari perlunya membalas kebaikan ALLAH dan adanya pengawasan ALLAH. Berlaku ihsan adalah buah dari mengenal ALLAH secara benar. Berbuat baik karena menyadari adanya pengawasan ALLAH yang tidak pernah lalai dan lupa, Mahatahu apa yang kita kerjakan dan apa yang tersembunyi dalam hati serta malaikat Rokib dan ‘Atid yang jauh lebih jeli dan teliti dari Komisi Pemantau manapun dalam mencatat semua perbuatan kita. Juga karena adanya kebaikan ALLAH yang begitu banyak, berupa fisik maupun nonfisik, profesionalisme ALLAH dalam mengatur alam semesta. ALLAH saja professional masa kita hambaNya engga?

Seperti halnya jawaban saya terhadap sms tersebut, seseorang yang berbuat baik memiliki banyak keuntungan, karena ALLAH akan member balasan yang baik pula.
Pertama. Kecintaan ALLAH
“dan berbuat baiklah karena sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin)” QS 2:195.
Dicintai manusia saja sudah senang, apalagi dicintai ALLAH?
Kedua. Pahala dari ALLAH
“Maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” QS 16:97
Ketiga. Pertolongan dari ALLAH
“dan sungguh, ALLAH beserta orang-orang yang berbuat baik” QS 26:69
Apa yang bisa mengalahkan pertolongan ALLAH? Ngga ada kan..

Indah sekali bukan kehidupan orang-orang yang berbuat baik? Semoga kita menjadi bagian dari mereka.

Dan carilah apa yang telah dianugerahkan ALLAH kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana ALLAH telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya ALLAH tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. QS 28:77

Maraji’
Al Qur’an Al Karim
Prayitno, I. 2003. Ma’rifatullaah. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna
Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadis RasuluLLAH SAW: Dr Musthafa Dieb Al-Bugha&Muhyiddin Mistu

Wednesday, April 1, 2009

Jangan Coba-coba

“Islam bersatu tak bisa dikalahkan”

Suatu hari saya pergi bareng dua orang kakak saya, sala seorang dari mereka bercerita tentang pembicaraannya dengan suaminya suatu hari
“nah, sekarang udah tau kana pa aja yang bikin aku marah?”
”iya, udah. Pertama, kalau keluarganya dihina”
mendengar jawaban suaminya kakak saya menahan tertawa, sebenarnya bukan itu jawaban yang dia maksud. Usut punya usut, kenapa abang saya menjawab seperti itu karena ternyata suatu hari abang ipar saya pernah ngomongin saya dan kakak saya, mendengar adiknya diomongin begitu, sangat tidak terima dan akhirnya murkalah. Padahal, kalau denger dari ceritanya, apa yang abang ipar saya omongin itu tidak salah-salah amat, memang saya orangnya begitu kok.

Suatu hari juga, kakak saya yang lain (berbeda dengan dua orang sebelumnya) mengatakan sesuatu. Diawali dari pertanyaan saya kenapa bisa temannya tidak percaya kalau saya adalah adiknya. Pembicaraan kamipun sampai pada pernyataan “huh, temen-temen gue mah ngga bakal berani De ngatain keluarga gue. Kalo ngatain gw biarin deh, tapi kalo sampe ngatain keluarga gw, huh..awas aja”
Lantas kakak saya yang inipun berceritalah bahwa pernah seorang temannya, karena sesuatu hal, mengeluarkan kata—yang dalam hal ini—konotasinya agak buruk tentang kami bersaudara. Kakak sayapun meradang ”gue marah banget De, gue jawabin, dia sampe ngga enak banget sama gw, mau negor jadi takut, sampe pulang, mau salaman aja dia takut”. Saya cukup ma’rifah dengan kakak saya ini dan bisa membayangkan bagaimana menyeramkannya dia saat itu.

Mendengar cerita dua orang ini, saya jadi ingat percakapan Chae Kyong dan Shin di komik Goong. Suatu hari Shin mengjhina keluarga Cahe Kyong, karena adiknya Chae Jun membuntuti Hyo Rin, diapun berpendapat ”menghantui kehidupan orang lain. Itu ciri khas keluargamu ya?” Chae Kyong terluka mendengarnya dan diapun melawan ”jangan menghina keluargaku. Seperti semua orang, aku juga bisa tahan kalau aku sendiri dimaki, tapi kalau keluargaku dimaki juga, aku tidak terima.” berhubung Shin yang putra mahkota itu tidak memiliki keluarga yang seperti kita rakyat jelata, Chae Kyong menambahkan ”Iya sih..kamu yang bertumbuh tanpa kasih sayang keluarga, tidak akan tahu perasaan seperti ini” Mantabh!


Yah, sepertinya kebanyakan orang begitu, masih bisa bertoleransi kalau diri sendiri saja yang dihina, tapi kalau sudah keluarga, orang-orang yang kita sayangi, maka otomatis surai ini tertegak, kuku keluar, matapun berkilat (kita ini manusia apa singa sih?!). saya pikir hal ini berlaku tidak hanya untuk keluarga dengan makna denotasi, keluarga yang terbentuk karena pertalian darah dan perkawinan, hubungan yang terbentuk karena pernah numpang di rahim yang sama atau karena seseorang mengatakan ”saya terima nikahnya” dan diakhiri dengan ”dibayar tunai”, bukan hanya keluarga yang seperti ini. Keluarga besar profesi, almammater, etnis, dll. Apalagi, yang sudah jelas pengaturannya seperti dalam Qur’an dan sunnah, keluarga satu aqidah,keluarga besar muslim, bahkan kata keluargapun kurang tepat lagi, karena kita satu tubuh!

Jadi, jangan anda coba-coba menghina keluarga orang lain, keluyarga apapun itu. Kami masih bisa tahan jika hanya diri ini saja yang dihina, tapi jika ini sudah menyangkut keluarga kami, maka bersiaplah. Karena persaudaraan kami begitu kuat, kekuatan ukhuwah kami begitu dahsyat, tapi ya, mungkin kalian yang tidak pernah merasakan manisnya ukhuwah seperti kami tidak akan paham.

ALLAHumma a’izzal isalama wal muslimin.
Ya ALLAH menangkanlah Islam dan kaum muslimin
ALLAHumma allif baina Qulubihim wa tsabbit aqdamahum
Ya ALLAH satukanlah hati-hati mereka, berikan keteguhan dan limpahkan kesabarannya

Jiping, Ngaji Bareng Kuda Lumping

”Ilmu itu bak binatang buruan, sedangkan tulisan itu adalah tali pengikatnya” (Imam Syafi’i)

Suatu hari saya ikutan tatsqif, dengerin taujih ustadz. Seperti biasa, kalau orang bicara di depan tidak langsung ke inti meterinya, pake pengantar dulu, kenalan dulu, dsb. Pengantar di sebuah materi bisa dianalogikan dengan pemanasan di senam kesegaran jasmani, buat pembicara maupun pendengarnya. Buat kita-kita para pendengar, pemanasan ini juga bisa digunakan untuk menyiapkan peralatan mencatat.

Setelah pengantarnya selesai, Ustadz Ahmad Zainuddin Lc pun masuk ke dalam inti materinya. Beliau sudah akan menyebutkan poin-poin, tapi masih ada hal yang dirasa kurang pas, ”kok ga pada nyiapin peralatan? Pada bawa peralatan ga?”, begitu tanyanya. Secara implisit, sebenarnya ustadz ingin bertanya ”ngga pada mau nyatet nih?”. setelah ustadz bertanya demikian, Pak Mcpun berdiri dan dengan hebohnya menawarkan pulpen pada audiens.

Menurut saya momen ini unik, soalnya baru pertama kali saya dengar ada ustadz sampai negor begini (setelah bertahun-tahun jaman pengajian remaja di kampung dulu). Entah karena biasanya semuanya pada rajin nyatet dan baru pertama kali begini atau fenomena ikhwan jiping (ngaji kuping) baru pertama kali ustadz temukan di daerah sini, tidak tahu juga, saya tidak pernah memperhatikan apakah para ikhwan pegang catetan atau tidak (ya iyalah..). Memangnya jiping masih jaman ya?

Jaman memang sudah berubah, kebiasaan manusia juga berubah. Kalau dulu kita biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, sekarang belum tentu. Beberapa mahasiswa saya lihat begitu sampai di acara, buka laptop, dan mulai ketak-ketik mencatat. Trend mahasiswapun berubah dari ”fotocopy oriented” jadi ”softcopy oriented”. Tidak usah mencatat, nanti di akhir acara tinggal sodorin flashdisk ke panitia, selesai.

Karena banyak kemudahan itu semakin malaslah kita mencatat. Belum lagi alasan lain seperti ”kalau fokus dengerin ngga bisa sambil nyatet”. Bah! Ustadz bahkan sampai bercerita, suatu hari setelah dia menyampaikan sebuah materi ada yang berkomentar ”yang tadi materinya bagus ustadz, kenapa ngga dibagi aja softcopy nya?”, ustadz jawab ”memangnya antum ngga dateng waktu xxx dan minta softcopynya?”, ”iya, dapet ustadz”, ”materi hari ini kan sama dengan yang waktu itu, cuma dikembangin sedikit”. ”Berarti apa?” tanya ustadz ke kami, ”habis minta softcopy dirumah juga ngga dibuka-buka lagi kan?” Nah lo..

Padahal catatan itu penting banget lho. Teman saya cerita, ada seorang abang yang kalau ada pemilihan calon ketua dia selalu bertanya pada kandidat apakah ada yang mencatat, ”masalah umat itu banyak, gimana kalian bisa ingat dan megurusnya kalau tidak kalian catat?”, begitulah kira-kira.

Pena yang lemah lebih tajam dari ingatan yang kuat. (apa pena yang tumpul lebih kuat dari ingatan yang tajam ya? He..lupa). buktinya waktu diskusi home group beberapa waktu lalu, seorang teman menjelaskan trias leukemia “anemia, leukopenia, dan trombositopenia”, saya merasa tidak asing dengar trias ini, saya buka-buka catatan dan menemukan sesuatu. “Kalo di catetankuada 3 hal yang khas pada anemia aplastik: anemia, leukopenia, trombositopenia, kok sama? Kalo pada leukemia juga begitu kenapa dibilangnya khas pada anemia aplastik?” teman-teman pada diem dan bilang “iya..ya” sambil mengingat-ingat diskusi sebelumnya. Tapi tiba-tiba saya menyadari sesuatu “eh, di bawahnya ada tulisan lagi nih “mirip sama leukemia, cuma pada leukemia kronik bisa terjadi leukositosis”. Teman-teman cuma bisa takjub doang dan bilang “ooh gitu ya? Liat catetannya dong Di”. Berguna kan pena saya yang lemah ini? Memang sih, untuk orang pelupa tapi tulisannya bagus seperti saya, mencatat adalah sebuah pilihan brillian.

Jadi, apapun gayanya, pertahankanlah kebiasaan mencatat ini, pakai buku, laptop, HP, apapun, asal jangan nyatet di tembok masjid aja.karena pasti berguna, untuk diingat lagi, dipelajari lagi, disampaikan pada orang lain, atau minimal bisa untuk mengenang betapa mengantuknya anda saat materi itu disampaikan hanya dengan melihat betapa keritingnya tulisan anda. Hehe


Friday, January 30, 2009

(Lagi) Tentang Pentingnya Membaca, Kali Ini Dari Nenek Hama

Buku adalah jendela dunia. Aduh, udah sering denger. Iqro’ bacalah. Ya.ya, ayat pertama yang turun dan sangat familiar. Membaca investasi tak kenal rugi. Iye, percaya kok. Tapi seberapa mengamalkannya kita? Seberapa rajin kita membaca? Ehm, pertanyaannya saya ganti deh, seberapa rajin saya membaca? Ehm..ya..ya..rajin kok *penilaian pribadi* hehe

Sebenarnya membaca itu penting untuk siapa saja tapi saya lagi mau fokus ke pentingnya membaca untuk penulis, tidak hanya terbatas ke penulis buku, tapi juga penulis cerita, pengarang komik, bahkan blogger. Sebenarnya aroma membaca seorang penulis bisa tercium oleh pembacanya lho. Karena aroma gemar membaca kental dengan aroma ilmu dan wawasan. Dan produk tulisan atau karyanya pun jadi lebih bermakna, ”dalem”, mencerahkan, atau berbobot. Seperti buku yang sedang saya baca akhir-akhir ini, berasa banget kalau yang nulis itu orang pinter, bacaannya banyak, wawasannya luas. Atau sebuah site di MP, contact saya, waktu itu saya pernah tanya padanya apa buku yang dia suka baca, dia malah bertanya balik pada saya ”emangnya kelihatan suka membaca ya” dan saya jawab iya. Sebenarnya saya pengen banget bertanya balik padanya, bagaimana dengan blog saya, tapi saya terlalu takut untuk mengetahui kenyataan, soalnya kayanya begitu pahit. Hehe

Jangankan sebuah buku yang tujuannya memang menginformasikan pada pembaca, membuat cerita yang fiksipun perlu membaca biar cerita yang dibuat lebih bagus, hidup dan ngga ngibul-ngibul amat.

Misalnya Takeshi Maekawa, untuk membuat cerita Chinmi di pulau Kan-an, melawan Jiirai dan Jenderal Boru, sampai buka-buka buku sejarah dan cari tahu senjata apa yang pas di zaman itu. Akhirnya dipilih meriam, bukan AK 47 apalagi bom fosfor putih. Atau pengarang Flash of Wind (namanya lupa, udah ngga pernah baca itu lagi), yang keluar masuk perpustakaan buat cari tahu, cewek-cewek di Jepang jaman samurai (namanya jaman apa? Aku lupa lagi) pake pembalut apa kalau menstruasi soalnya tokoh utama di komik itu si Seizaburo Kamiya adalah perempuan yang menyamar jadi laki-laki dan dia tidak mungkin tidak menghiraukan siklus alami wanita dewasa itu di komiknya.

Mau tahu tidak momen apa yang membuat saya tersadar kembali tentang pentingnya membaca? Saya kasih tau ya. Momen ini beberapa bulan lalu waktu menonton Avatar-Legend of Aang, Book of Fire.

Aang dkk menginap di sebuah penginapan milik nenek-nenek, namanya nenek Hama. Nenek ini memang misterius banget, tipe nenek sihir gitu. Sampai pada akhirnya tersingkaplah bahwa Nenek Hama ini adalah pengendali air. Loh kok bisa? Di negara api lagi!

Nenek Hamapun berceritalah bahwa dia waktu masih muda dulu termasuk salah satu pengendali air yang ditangkap oleh pasukan Negara api waktu mereka menyerang ke Negara air. Dia dan puluhan (atau mungkin ratusan) pengendali air lainnya dibawa ke Negara api dan dipenjarakan. Selama di penjara, mereka diperlakukan dengan “special”. Mereka dijauhkan dari air dan segala hal yang mengandung air, pokoknya penjara diusahakan kering tidak ada air sedikitpun. Kalau mereka minum, tangan dan kaki mereka diikat, biar mereka tidak bisa melakukan pengendalian.

Lantas bagaimana bisa nenek Hama sekarang bebas dan hidup layaknya penduduk negara api yang lain? Ternyata nenek Hama berhasil kabur dari penjara. Wah, ini lebih fantastis lagi, bagaimana bisa?

Saat nenek Hama sudah hampir menyerah dan pasrah dengan keadaan, nenek Hama menemukan sebuah jalan keluar. Dia menemukan air lain, yang tidak terpikirkan oleh para penjaga dan juga saya. Tahukah anda air dari mana? Di penjara yang kering itu? Kalau anda tidak tahu berarti anda kalah setingkat dengan sang penulis cerita.

Nenek Hama menjadi PENGENDALI DARAH (Note: sebenarnya saya berharap anda membacanya tidak dengan nada yang biasa, tapi dengan suara seperti nenek-nenek, dengan intonasi lambat, mencekam, seolah-olah sedang melontarkan sesuatu yang amat penting dan akan mengagetkan semua yang mendengar, biar kesan mistis dan mencekamnya dapet. Dubber-nya nenek Hama soalnya mencontohkan begitu di film)

Ah, saya benar-benar tersentak waktu nonton episode ini dan mendengar nenek Hama bilang PENGENDALI DARAH (masih dengan nada yang tadi ya) begitu. (Anda juga ngga? Kalo ngga berarti postingan ini persis kaya prinsip demokrasi dari saya, oleh saya, untuk saya T_T). Bagaimana mungkin saya tidak berpikir ke arah sana, 60% tubuh manusia kan terdiri dari air (cairan)! Jadi sebenarnya ada banayak sekali air di penjara itu selama masih banyak mahluk hidup berkeliaran. Yah terlepas dari ke-kurang tepat-an penulis karena memilih darah (darah hanyalah mengandung 5% dari total cairan tubuh kita), cukup bisa diterima lah, demi kedramatisan adegan, soalnya kalau nenek Hama mengendalikan cairan intraseluler (yang jumlahnya 2/3 dari total cairan tubuh) saat penyebutannya jadi kurang dramatis, alih-alih penonton merasakan aura ngeri malah pada mengeluh ”euh..pelajaran fisiologi apa lagi ini?!”

Setelah kejadian ini saya jadi tambah nge-fans pada Katara (khusunya Katara sebagai pengendali air) dan merasa bahwa pengendali air-lah yang terhebat karena fisiologi cairan ini berlaku untuk semua orang termasuk semua musuhnya. Sayang Katara tidak mau melakukan pengendalian darah, terlalu sadis. Bahkan Nenek Hama saja akhirnya jadi psikopat. Dan saya agak kecewa waktu Katara kalah dari Azula, mungkin karena saat itu sedang ada komet Sozin, hhh..andai Katara adalah pengendali cairan intraseluler, pasti lebih hebat lagi.

Eniwei, begitulah kawan, yang suka pada ngeblog-ngeblog nih, rajin-rajinlah membaca, biar blognya lebih berbobot. *bicara pada cermin*

Wednesday, January 28, 2009

Ga Cuma Di Pelm India


“cintamu tak harus, miliki diriku” –Dewa (dengan perubahan seenaknya)

Pernah nonton Kuch Kuch Hota Hai) Tau ending nya seperti apa? Saya sama sekali tidak sedang merekomendasikan film itu untuk ditonton (ngga penting juga kok), kalau jawaban 2 pertanyaan tadi adalah tidak, saya akan berbaik hati memberi tahu sedikit. Yang ingin saya soroti bukanlah cinta segitiga antara Rahul, Tina, dan Anjali (ehm, sepertinya banyak yang kecewa, hehe) tapi tentang drama pernikahan Rahul dan Anjali (ending filmnya doang).

Anjali dijodohkan oleh keluarganya dengan Aman (Salman Khan), seorang pria tampan, kaya dan baik hati, pokoknya high quality bujangan lah. Tapi sebenarnya Anjali tidak mencintainya, karena jauh di dalam hatinya, dia mencintai Rahul, sahabatnya di kampus dulu. Rahul juga begitu, mencintai Anjali, meskipun dia baru sadar setelah dia menikah, memilki 1 anak, dan istrinya meninggal, huh, dasar laki-laki!

Di hari-H pernikahan, Aman menyadari bahwa Anjali tidak mencintainya, dan mencintai Rahul dengan amat sangat, akhirnya, dengan tambahan sedikit tipu daya dari anak Rahul yang namanya Anjali juga, Aman membatalkan pernikahannya, menyerahkan Anjali pada Rahul untuk dinikahkan. Dan di tempat itu, pada saat itu, Rahul dan Anjali menikah (sambil nangis-nangis gitu kayanya, hehe)

Sebenarnya kalau saya pribadi memnganggap peristiwa seperti itu sedikit mustahil. Saya kepikiran ”bagaimana dengan keluarga si mantan calon mempelai pria, bagaimana dengan keluarga si akhirnya jadi mempelai pria, atau keluarga si wanita yang dari awal sampe akhir tetep jadi mempelai, bagaimana dengan mahar, seseraha, dan bagaimana dengan tamu?”. Yah, sepertinya kalau tamu tidak terlalu bermasalah sih, asal tetap ada jamuan prasmanan mereka senang kok.

Mungkin sedikit mudah kalau di Hogwarts, seperti momen akhir tahun pertama Potter di sekolah. Waktu itu Slytherin dapat poin asrama tertinggi dan seluruh sekolah sudah siap merayakan. Aula sudah dihiasi dengan warna hijau dan ornamen khas Slytherin yang lain. Tapi tiba-tiba Dumbledore (kalau tidak salah) memberi nilai untuk Harry, Ron, dan Hermione untuk kehebatan mereka dalam perjuangan mendapatkan sorceres stone sehingga poin Gryffindor bertambah dan melampaui poin Slytherin. Otomatis pemenang berubah, dan dekorasipun juga harus dirubah. Maka, hanya dengan satu jentika tangan, hiasan aula berubah, jadi merah, warnanya Gryffindor. Yah, yah, untuk Hogwarts mudah, tapi kita para muggle, tidak segampang itu lah. (Memangnya hiasan pernikahan antara 1 penganten dengan penganten yang lain beda jauh ya? Kayanya ngga juga. Euh..jadi sepertinya permisalan ini tidak terlalu cocok)

Dan tahukah anda? Peristiwa-penggantian-mempelai-secara-tiba-tiba (PPMST2) ini tidak hanya ada di Kuch Kuch Hota Hai, tapi di beberapa film india lain. Sedikitnya ada 3 film india yang punya adegan PPMST2 ini, itupun dari seluruh film india yang saya tonton, mengingat saya tidak banyak menonton film india jadi bisa diprediksikan bahwa PPMST2 ada di lebih banyak lagi film india, tidak cuma 3. Biasanya menonton adegan PPMST2 ini saya akan membatin ”yaelah, dasar pelm india!!”

Tapi tahukah anda, meskipun dari tadi saya menggambarkan betapa hampir mustahilnya adegan PPMST2 ini di dunia nyata, sebenarnya ini pernah terjadi di jaman RasuluLLAH. Yah, meskipun tidak benar-benar persis PPMST2 di kuch kuch hota hai dan film india lain.

Adalah Salman Al Farisi, seorang sahabat pilihan, pahlawan perang Khandaq, yang RasuluLLAH pernah berkata ”Salmanu minal bait. Salman adalah golongan kami, ahlul bait”. Padahal Salman datang dari Farsi.

Suatu hari dia hendak menikah dan memutuskan untuk meminang seorang wanita Anshar yang dirasa pilihan tepat baginya. Tapi Salman bukanlah asli madinah, masih merasa asing di sana, dan agak kagok kalau harus berurusan kultural begini dengan keluarga madinah. Akhirnya Salman menita tolong Abu Darda, orang Anshar yang dipersaudarakan dengannya untuk mewakilinya.

Berangkatlah mereka meminang si gadis madinah. Sesampainya di sana Abu Darda mulai beraksi, menyatakan maksud kedatangan mereka pada bapak si gadis. Tapi tahukah kawan apa jawaban si gadis yang disampaikan lewat perantaraan ibunya. ”Puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” (sebenarnya jawabannya lebih panjang, tapi saya singkat, maaf) Aih.. si gadis memilih pengantar, bukan si peminang yang sesungguhnya. Tapi, simak jawaban Salman ”ALLAHu akbar!” serunya, ”semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian”
(PS: pilih pengantar jangan keren-keren, atau minimal tidak lebih keren dari anda)



Tuh kan, luar biasa para sahabat itu, amat sangat jauh lebih keren sekali dari Aman, Rahul, Dumbledore apalagi Malfoy. Dengan keimanan, keikhlasan, tawakal, ukhuwah menghadirkan sebuah momen yang saya-pikir-cuma-ada-di-film-india di dunia nyata dengan demikian indah. Ya itulah perlunya melihat segala sesuatu dengan kacamata iman.

So, so, ada yang mau menyerahkan calon mempelai pria nya ke saya? Wakakakak

Kutipan atau apapun lah itu saya ambil dari:
Lagunya Dewa, entah judulnya apa
Film Kuch Kuch Hota Hai dan 2 film india lain, entah judulnya apa
Buku “Jalan Cinta Para Pejuang”, Salim A. Fillah
Buku “Karakteristik Perihidup 60 Sahabat RasuluLLAH”, Khalid Muh. Walid
Buku “Harry Potter dan Batu bertuah”, J.K. Rowling
Foto dari pro.corbis.com