Thursday, May 15, 2008

Kemanan Berkendara dan Penggantian Identitas, Sebuah Tinjauan Realita dan Kebodohan Sinetron

Akhir-akhir ini saya semakin sering melihat pengendara motor yang menyelipkan hpnya di helmnya tepat di depan telinga. Meskipun saya tidak tahu pasti alasan mereka menyelipkan hp di situ, tapi saya yakin alasan mereka bukan karena melidungi telinga dari kebisingan, melindungi telinga dari hawa dingin seperti saat musim dingin seperti di negara-negara dengan 4 musim atau untuk mencegah kotoran telinga menetes keluar dan mengotori helm. Kemungkinan besar (dan hampir bisa dipastikan benar) alasan mereka adalah agar tetap bisa berkomunikasi lewat hp meskipun sedang berkendara.

Setelah beberapa kali melihat pengendara motor yang melakukan hal demikian saya sempat berpikir “sebegitu besarnyakah kebutuhan berkomunikasi sampai-sampai harus tetap dilakukan meskipun sedang bawa motor?”
Perilaku seperti ini sebenarnya sungguh berbahaya karena pada dasarnya mengendarai sesuatu membutuhkan konsentrasi sedangkan mengobrol dengan orang lain apalagi di telepon adalah sebuah distraksi yang cukup signifikan. Kondisi jalan yang selalu berubah ditambah dengan keadaan kita yang bergerak dengan kecepatan tertentu selayaknya dikompensasi dengan tidak meleng saat berkendara. Seorang karyawan FIK bercerita dulu pernah ada polisi yang meninggal di dalam lingkungan UI setelah menabrak pohon karena dia meleng sebentar.

Sejak dulu sudah ada peringatan untuk tidak menelepn saat mengendarai mobil karena bahayanya. Apalagi ditambah kenyataan bahwa laki-laki memiliki kelemahan tidak dapat melakukan berbagai pekerjaan dalam satu waktu. Bahaya menelepon saat berkendara ini juga bayak digambarkan di sinetron. Diawali dengan adegan jatuhnya hp yang sedang digunakan saat menyetir kemudian si driver repot-repot meraba-raba berusaha memungut hpnya. Saat sedang tidak melihat jalan di depan, entah bagaimana bisa, tiba-tiba di depan ada pohon, jurang, atau truk besar, dan kemudian mobilpun menabrak. Si driver (biasanya pemeran utama atau pemeran pendamping) lalu hilang ingatan dan ditolong oleh janda yang masih denial dengan kepergian suaminya dan kemudian memberi identitas baru untuk si driver alias mengaku-aku bahwa dirinya adalah istri si driver. Dan percayalah, tidak cuma satu sinetron yang punya cerita seperti itu.

Tidak bisa dipungkiri, kebutuhan berkomunikasi di jaman sekarang ini memang sangat tinggi. Ada yang pernah bilang bahwa tingkat kesejaheraan seseorang bisa diukur dari pengeluarannya untuk berkomunikasi, idealnya belanja untuk kebutuhan komunikasi lebih besar dari belanja kebutuhan dasar. Komunikasi juga salah satu sarana silaturahim, sebuah kegiatan yang begitu dianjurkan RosuluLLOH dan begitu banyak manfaatnya. Tapi apakah harus sampai menanggung risiko membahayakan diri sendiri dan bahkan orang lain? Saya rasa tidak. Kalau memang mendesak menepilah sebentar karena saya yakin anda pasti tidak ingin cuma karena menelepon anda harus celaka, dan kalau beruntung masih hidup, harus terbaring di RS dengan memori otak yang hilang ditemani seorang janda yang mengaku-aku istri anda sementara istri dan anak-anak anda di rumah sedang tahlilan sambil bersimbah air mata (hehe sinetron banget kan?)

Thursday, May 8, 2008

Melihat Kuaci Lebih Dalam

Di kelasku, Reguler 2005, bisa dibilang kelas yang paling aktif dalam urusan perdagangan. Segala macem barang ada yang jual di kelas, mulai dari makanan, baju, pulsa sampe alat-alat kosmetik, yah meskipun pasang surut. Bahkan kelas kita sampe ditegor, katanya ngga boleh jualan di kelas lagi. Tapi tetep aja setiap hari pasti ada yang jualan.

Dagangan yang akhir-akhir ini jadi primadona di kelas adalah kuaci. Ya, kuaci, entah kali ini kuaci dari biji bunga apa tapi sepertinya omset penjualan kuaci cukup tinggi di kelas. Sampe-sampe suatu siang temenku bawa sampah kulit kuaci yang baaanyaak banget buat di buang di tong sampah, dia bilang "nih liat sampahnya aja sampe segini banyak, berarti setiap hari kita menghasilkan banyak banget cuma dari kuaci" (dan itu sampah belum dari seluruh pemakan kuaci di kelas)

Kalau aku bilang kuaci itu adalah makanan yang menurunkan produktivitas, gimana tidak, makanan yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar itu perlu proses yang agak merepotkan untuk memakannya. Setiap biji ada kulitnya yang mesti dikupas, dan begitu dibuka, dikunyah ngga sampe beberapa detik udah habis dan kita mesti ngupas lagi, begitu terus ampe pegel, dan bibir jadi kebas kalo ngupasnya pake gigi. Waktu yang mestinya bisa digunakan buat hal lain jadi dipake buat mengupas kuaci satu demi satu, aturan bisa baca buku, qur'an atau ngenet jadi konsen cuma buat ngupasin kuaci!!!

"Tapi jangan salah Di," kata seorang teman akhwat sholehah, "kuaci juga mempererat ukhuwah lho..". Bener juga sih, pasalnya biasanya anak-anak di kelas makan kuacinya bergerombol bisa 4 sampai 6 orang. Kalau ada 1 orang beli kuaci entah dia punya feromon apa tiba-tiba "serangga-serangga" yang pengen ikutan nebeng makan kuaci pada berdatangan. Padahal yang ikut nebeng itu belum tentu tadi belom makan kuaci, bisa jadi dia udah ngga punya budget lagi buat beli kuaci hari itu, atau dia tipe pengenan tiap lihat orang makan apaa aja jadi kepengen, atau dia pengen ikut nimbrung karena suka suasananya (sekalian hidangan kuacinya tentu). Yang unik adalah sambil ngobrol, kelompok pemakan kuaci ini tentu saja tetap konsen dengan kuaci masing-masing, ngobrol jalan, ngupasin kuaci juga hayo aja..

Kuaci..kuaci..ternyata ada maslahat dan mudharatnya juga..

Monday, May 5, 2008

Back To Markaz, Back To Qur'an

Beberapa waktu yang lalu seorang teman membagikan pada kami sebuah brosur sederhana. Beberapa dari kami yang membacanya tersentak kaget dan sejurus kemudian jadi bersedih. Bosur itu dari LTQ (Lembaga Tahfizh Qur’an) Markazul Qur’an berisi tentang pemberitahuan pembukaan pendaftaran gelombang baru. “Masya Allah udah dibuka pendaftaran baru lagi”, kira-kira itu yang ada di otak kami dan kemudian kami menyadari “berarti udah 1 semester (atau lebih) ya, kita meninggalkan markaz”

Saya masih ingat taujih Ust Abdul Azis Abdul Rouf, Al Hafidz ketika kuliah perdana (entah pada gelombang berapa) tentang istiqomah. Beliau bilang bahwa salah satu akar kata dari istiqomah artinya lurus. Jadi, beliau bilang, ketika kita berbelok, tidak melanjutkan belajar karena suatu hal misalnya nikah, maka ketika kita balik lagi itu namanya istiqomah. Hal itu pula yang saya jadikan alasan ketika teman-teman bertanya apakah saya masih di markaz, “aku lagi belok dulu nih, nanti balik lagi.”

Brosur sederhana itu mengingatkan saya lagi sudah berapa lama saya berbelok, mengingatkan saya lagi akan sebuah cita-cita yang optimisme akan ketercapaiaannya seringkali naik dan turun. Dan mengingatkan saya lagi akan momen-momen sabtu pagi saya, ketika berangkat ke markaz adalah agenda utama sebelum menunaikan agenda-agenda lain. Mengingatkan pada sebuah kelompok kecil dimana beberapa wanita berkumpul tapi tidak ada yang mengobrol, semua sibuk dengan Qur’an masing-masing, hal yang tidak saya temui di forum-forum lain. Ah, sungguh saya rindu dengan itu semua.

Memang benarlah, semakin jauh kita berbelok, semakin sulit untuk kita kembali. Semakin lama kita mengambil jeda, semakin berat untuk kembali memulai. Dan semakin lama otak ini tidak digunakan untuk menghafal, semakin susah untuk diisi kembali, bahkan hanya dengan satu ayat pun.

Salah satu sarana penunjang dalam menghafal Al Qur’an adalah bergaul dengan orang yang sedang atau sudah hafal Qu’an. Kembali ke Markazul Qur’an berarti menuju ke sarana itu. Berkumpul dengan halaqoh Qur’an, bertemu dengan ibu-ibu yang anak-anak balitanya lebih dari satu tapi begitu semangat dalam menambah hafalan, terkagum-kagum dengan semangat mereka yang setoran sambil ditarik-tarik anaknya yang merengek minta sesuatu.

Dan kenapa saya menulis ini semua? Untuk menambah daftar orang yang akan mengingatkan saya ketika suatu hari berbelok lagi dan untuk mempengaruhi orang-orang untuk ikut melestarikan budaya tahfizh qur’an, budaya para salafush shalih ini.

Allahummarhamna bil qur’an. Ya Allah rahmatilah kami dengan Qur’an.