Sunday, April 26, 2009

Kenapa Harus Berbuat Baik?

“why are you so kind young girl?!”

Beberapa hari lalu seseorang meminta tolong kepada saya—meskipun sebenarnya tidak jelas minta tolong atau memerintah karena dia memakai embel-embel “saya beri waktu anda sampai jam 12. Trims” di akhir sms-nya. Tapi pada akhirnya saya melakukan apa yang dia minta juga, sebatas kemampuan saya. Sampai setelah urusannya selesai, dia bertanya “why are you so kind young girl?!” dan saya jawab dengan “karena ALLAH mencintai orang-orang yang berbuat baik (innALLAHa yuhibbul muhsinin)”. Ah, padahal yang saya lakukan tidak ada apa-apanya, saya cuma berkorban waktu dan sms kok, sepertinya saya juga masih jauh dari kriteria berbuat baik dan memasukkan saya dalam kategori muhsinin.

Begitulah, di hari sata menerima sms itu, paginya saya habis mengisi materi al ihsaan, artinya berbuat baik. Seperti dituangkan dalam hadis “Sesungguhnya ALLAH mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal” (HR Muslim), maka ihsan selayaknyalah menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim. Dan pertanyaan, kenapa kamu begitu baik? Atau kenapa kamu berbuat baik? Tidaklah perlu ditanyakan, karena kebaikan sudah menjadi ruh setiap orang.

Ihsan yang dimaksud sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan “kind” yang dimaksud dalam sms. Menurut saya “kind” ini lebih mengacu pada kebajikan atau shodaqoh (setiap yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain adalah shodaqoh), tapi waktu itu pikiran saya langsung mengacu pada ihsan ini. Ihsan yang dimaksud adalah tidak sekedar berbuat baik, tapi melakukan sesuatu dengan baik dan benar, melakukan sesuatu sesempurna mungkin dan menjaga seluruh adab yang bisa menjadikan kesempurnaan perbuatan yang dilakukan. Ihsan berarti paket dari ikhlashun niyat (niat yang ikhlas), itqoonul ‘amal (pekerjaan yang tertib/professional), dan jaudatul adaa’ (penyelesaian yang baik).

Ihsan adalah cirri orang yang menyadari perlunya membalas kebaikan ALLAH dan adanya pengawasan ALLAH. Berlaku ihsan adalah buah dari mengenal ALLAH secara benar. Berbuat baik karena menyadari adanya pengawasan ALLAH yang tidak pernah lalai dan lupa, Mahatahu apa yang kita kerjakan dan apa yang tersembunyi dalam hati serta malaikat Rokib dan ‘Atid yang jauh lebih jeli dan teliti dari Komisi Pemantau manapun dalam mencatat semua perbuatan kita. Juga karena adanya kebaikan ALLAH yang begitu banyak, berupa fisik maupun nonfisik, profesionalisme ALLAH dalam mengatur alam semesta. ALLAH saja professional masa kita hambaNya engga?

Seperti halnya jawaban saya terhadap sms tersebut, seseorang yang berbuat baik memiliki banyak keuntungan, karena ALLAH akan member balasan yang baik pula.
Pertama. Kecintaan ALLAH
“dan berbuat baiklah karena sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin)” QS 2:195.
Dicintai manusia saja sudah senang, apalagi dicintai ALLAH?
Kedua. Pahala dari ALLAH
“Maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” QS 16:97
Ketiga. Pertolongan dari ALLAH
“dan sungguh, ALLAH beserta orang-orang yang berbuat baik” QS 26:69
Apa yang bisa mengalahkan pertolongan ALLAH? Ngga ada kan..

Indah sekali bukan kehidupan orang-orang yang berbuat baik? Semoga kita menjadi bagian dari mereka.

Dan carilah apa yang telah dianugerahkan ALLAH kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana ALLAH telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya ALLAH tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. QS 28:77

Maraji’
Al Qur’an Al Karim
Prayitno, I. 2003. Ma’rifatullaah. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna
Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadis RasuluLLAH SAW: Dr Musthafa Dieb Al-Bugha&Muhyiddin Mistu

Wednesday, April 1, 2009

Jangan Coba-coba

“Islam bersatu tak bisa dikalahkan”

Suatu hari saya pergi bareng dua orang kakak saya, sala seorang dari mereka bercerita tentang pembicaraannya dengan suaminya suatu hari
“nah, sekarang udah tau kana pa aja yang bikin aku marah?”
”iya, udah. Pertama, kalau keluarganya dihina”
mendengar jawaban suaminya kakak saya menahan tertawa, sebenarnya bukan itu jawaban yang dia maksud. Usut punya usut, kenapa abang saya menjawab seperti itu karena ternyata suatu hari abang ipar saya pernah ngomongin saya dan kakak saya, mendengar adiknya diomongin begitu, sangat tidak terima dan akhirnya murkalah. Padahal, kalau denger dari ceritanya, apa yang abang ipar saya omongin itu tidak salah-salah amat, memang saya orangnya begitu kok.

Suatu hari juga, kakak saya yang lain (berbeda dengan dua orang sebelumnya) mengatakan sesuatu. Diawali dari pertanyaan saya kenapa bisa temannya tidak percaya kalau saya adalah adiknya. Pembicaraan kamipun sampai pada pernyataan “huh, temen-temen gue mah ngga bakal berani De ngatain keluarga gue. Kalo ngatain gw biarin deh, tapi kalo sampe ngatain keluarga gw, huh..awas aja”
Lantas kakak saya yang inipun berceritalah bahwa pernah seorang temannya, karena sesuatu hal, mengeluarkan kata—yang dalam hal ini—konotasinya agak buruk tentang kami bersaudara. Kakak sayapun meradang ”gue marah banget De, gue jawabin, dia sampe ngga enak banget sama gw, mau negor jadi takut, sampe pulang, mau salaman aja dia takut”. Saya cukup ma’rifah dengan kakak saya ini dan bisa membayangkan bagaimana menyeramkannya dia saat itu.

Mendengar cerita dua orang ini, saya jadi ingat percakapan Chae Kyong dan Shin di komik Goong. Suatu hari Shin mengjhina keluarga Cahe Kyong, karena adiknya Chae Jun membuntuti Hyo Rin, diapun berpendapat ”menghantui kehidupan orang lain. Itu ciri khas keluargamu ya?” Chae Kyong terluka mendengarnya dan diapun melawan ”jangan menghina keluargaku. Seperti semua orang, aku juga bisa tahan kalau aku sendiri dimaki, tapi kalau keluargaku dimaki juga, aku tidak terima.” berhubung Shin yang putra mahkota itu tidak memiliki keluarga yang seperti kita rakyat jelata, Chae Kyong menambahkan ”Iya sih..kamu yang bertumbuh tanpa kasih sayang keluarga, tidak akan tahu perasaan seperti ini” Mantabh!


Yah, sepertinya kebanyakan orang begitu, masih bisa bertoleransi kalau diri sendiri saja yang dihina, tapi kalau sudah keluarga, orang-orang yang kita sayangi, maka otomatis surai ini tertegak, kuku keluar, matapun berkilat (kita ini manusia apa singa sih?!). saya pikir hal ini berlaku tidak hanya untuk keluarga dengan makna denotasi, keluarga yang terbentuk karena pertalian darah dan perkawinan, hubungan yang terbentuk karena pernah numpang di rahim yang sama atau karena seseorang mengatakan ”saya terima nikahnya” dan diakhiri dengan ”dibayar tunai”, bukan hanya keluarga yang seperti ini. Keluarga besar profesi, almammater, etnis, dll. Apalagi, yang sudah jelas pengaturannya seperti dalam Qur’an dan sunnah, keluarga satu aqidah,keluarga besar muslim, bahkan kata keluargapun kurang tepat lagi, karena kita satu tubuh!

Jadi, jangan anda coba-coba menghina keluarga orang lain, keluyarga apapun itu. Kami masih bisa tahan jika hanya diri ini saja yang dihina, tapi jika ini sudah menyangkut keluarga kami, maka bersiaplah. Karena persaudaraan kami begitu kuat, kekuatan ukhuwah kami begitu dahsyat, tapi ya, mungkin kalian yang tidak pernah merasakan manisnya ukhuwah seperti kami tidak akan paham.

ALLAHumma a’izzal isalama wal muslimin.
Ya ALLAH menangkanlah Islam dan kaum muslimin
ALLAHumma allif baina Qulubihim wa tsabbit aqdamahum
Ya ALLAH satukanlah hati-hati mereka, berikan keteguhan dan limpahkan kesabarannya

Jiping, Ngaji Bareng Kuda Lumping

”Ilmu itu bak binatang buruan, sedangkan tulisan itu adalah tali pengikatnya” (Imam Syafi’i)

Suatu hari saya ikutan tatsqif, dengerin taujih ustadz. Seperti biasa, kalau orang bicara di depan tidak langsung ke inti meterinya, pake pengantar dulu, kenalan dulu, dsb. Pengantar di sebuah materi bisa dianalogikan dengan pemanasan di senam kesegaran jasmani, buat pembicara maupun pendengarnya. Buat kita-kita para pendengar, pemanasan ini juga bisa digunakan untuk menyiapkan peralatan mencatat.

Setelah pengantarnya selesai, Ustadz Ahmad Zainuddin Lc pun masuk ke dalam inti materinya. Beliau sudah akan menyebutkan poin-poin, tapi masih ada hal yang dirasa kurang pas, ”kok ga pada nyiapin peralatan? Pada bawa peralatan ga?”, begitu tanyanya. Secara implisit, sebenarnya ustadz ingin bertanya ”ngga pada mau nyatet nih?”. setelah ustadz bertanya demikian, Pak Mcpun berdiri dan dengan hebohnya menawarkan pulpen pada audiens.

Menurut saya momen ini unik, soalnya baru pertama kali saya dengar ada ustadz sampai negor begini (setelah bertahun-tahun jaman pengajian remaja di kampung dulu). Entah karena biasanya semuanya pada rajin nyatet dan baru pertama kali begini atau fenomena ikhwan jiping (ngaji kuping) baru pertama kali ustadz temukan di daerah sini, tidak tahu juga, saya tidak pernah memperhatikan apakah para ikhwan pegang catetan atau tidak (ya iyalah..). Memangnya jiping masih jaman ya?

Jaman memang sudah berubah, kebiasaan manusia juga berubah. Kalau dulu kita biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, sekarang belum tentu. Beberapa mahasiswa saya lihat begitu sampai di acara, buka laptop, dan mulai ketak-ketik mencatat. Trend mahasiswapun berubah dari ”fotocopy oriented” jadi ”softcopy oriented”. Tidak usah mencatat, nanti di akhir acara tinggal sodorin flashdisk ke panitia, selesai.

Karena banyak kemudahan itu semakin malaslah kita mencatat. Belum lagi alasan lain seperti ”kalau fokus dengerin ngga bisa sambil nyatet”. Bah! Ustadz bahkan sampai bercerita, suatu hari setelah dia menyampaikan sebuah materi ada yang berkomentar ”yang tadi materinya bagus ustadz, kenapa ngga dibagi aja softcopy nya?”, ustadz jawab ”memangnya antum ngga dateng waktu xxx dan minta softcopynya?”, ”iya, dapet ustadz”, ”materi hari ini kan sama dengan yang waktu itu, cuma dikembangin sedikit”. ”Berarti apa?” tanya ustadz ke kami, ”habis minta softcopy dirumah juga ngga dibuka-buka lagi kan?” Nah lo..

Padahal catatan itu penting banget lho. Teman saya cerita, ada seorang abang yang kalau ada pemilihan calon ketua dia selalu bertanya pada kandidat apakah ada yang mencatat, ”masalah umat itu banyak, gimana kalian bisa ingat dan megurusnya kalau tidak kalian catat?”, begitulah kira-kira.

Pena yang lemah lebih tajam dari ingatan yang kuat. (apa pena yang tumpul lebih kuat dari ingatan yang tajam ya? He..lupa). buktinya waktu diskusi home group beberapa waktu lalu, seorang teman menjelaskan trias leukemia “anemia, leukopenia, dan trombositopenia”, saya merasa tidak asing dengar trias ini, saya buka-buka catatan dan menemukan sesuatu. “Kalo di catetankuada 3 hal yang khas pada anemia aplastik: anemia, leukopenia, trombositopenia, kok sama? Kalo pada leukemia juga begitu kenapa dibilangnya khas pada anemia aplastik?” teman-teman pada diem dan bilang “iya..ya” sambil mengingat-ingat diskusi sebelumnya. Tapi tiba-tiba saya menyadari sesuatu “eh, di bawahnya ada tulisan lagi nih “mirip sama leukemia, cuma pada leukemia kronik bisa terjadi leukositosis”. Teman-teman cuma bisa takjub doang dan bilang “ooh gitu ya? Liat catetannya dong Di”. Berguna kan pena saya yang lemah ini? Memang sih, untuk orang pelupa tapi tulisannya bagus seperti saya, mencatat adalah sebuah pilihan brillian.

Jadi, apapun gayanya, pertahankanlah kebiasaan mencatat ini, pakai buku, laptop, HP, apapun, asal jangan nyatet di tembok masjid aja.karena pasti berguna, untuk diingat lagi, dipelajari lagi, disampaikan pada orang lain, atau minimal bisa untuk mengenang betapa mengantuknya anda saat materi itu disampaikan hanya dengan melihat betapa keritingnya tulisan anda. Hehe