Monday, December 1, 2008

Belajar Dari Hajar


Kita semua mungkin sudah sangat familiar dengan kisah Hajar dan Ismail di tanah haram. Kisah perjuangan seorang ibu dalam mencari air demi anaknya dan dirinya yang kehausan dan kelaparan di tengah padang tandus. Kisah yang diabadikan dalam salah satu rukun haji, sa’i.

Kalau ada yang belum pernah dengar atau lupa, saya ulang sedikit. Hajar dan bayinya Ismail ditinggalkan di tanah haram yang kering dan tandus oleh suaminya, Ibrahim as. Atas dasar wahyu ALLAH SWT. Setelah bekal air minum dan makanan habis, dan merekapun merasa haus dan kelaparn. Hajar berusaha mencari air. Dengan menaiki bukit shafa, dia berharap dapat melihat sumber air atau orang yang dapat membantu. Tidak berhasil, Hajar naik ke bukit berikutnya, Marwah dengan harapan yang sama. Hajar melakukannya dengan berlari-lari kecil, bolak-balik dari bukit Shafa ke Marwa hingga 7 kali.

Pernahkah anda berpikir kenapa Hajar melakukan hal demikian? Mengapa dia sampai bolak-balik padahal sudah jelas-jelas tidak menemukan air? Sebagain besar orang pasti menjawab karena fatamorgana, karena Hajar menlihat fatamorgana di Marwa, menyangka itu adalah air kemudian dia berlari menghampiri dan tidak menemukan air di sana. Di Marwahpun begitu, melihat fatamorgana di Shafa dan kejadian berulang. Tapi pernahkah anda berpikir, kenapa bisa sampai 7 kali? Ketika anda melakukan kesalahn 1 atau 2 kali, mungkinkah anda melakukannya berulang-ulang hingga 7 kali? Padahal keadaan anda kritis saat itu, mungkinkah?

Jawabannya ada pada percakapan antara Hajar dan Ibrahim as sesaat sebelum Ibrahim as pergi. Setelah Ibrahim selesai membangun sebuah rumah dari dahan pepohonan, meninggalkan bekal secukupnya, Ibrahim as bergegas pergi meninggalkan mereka berdua. Hajar bertanya, ”mau kemana?”, ”aku mau ke Syiria”, jawab Ibrahim as. ”Bagaimana kamu bisam meninggalkan kami di tempat tandus, tidak ada pepohonan, tidak ada air, dan tidak ada teman seorang pun”, protes Hajar, manusiwai sekali bukan? Tetapi Ibrahim as tidak menoleh walaupun Hajar terus memprotesnya. Akhirnya Hajar berkata, ”apakah ALLAH yang telah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Ibrahim mengiyakan. ”kalau begitu, ALLAH sungguh yang akan mengurus kami”

Begitulah. Jawabannya adalah karena tawakkal. Karena seorang Hajar memiliki keyakinan dalam hatinya bahwa ALLAH tidak akan menyia-nyiakannya, ALLAH-lah yang akan mengurusnya, bukan yang lain. Ketika percobaan ke2 dst dalam mencari air Hajar tidak berpikir ”ah, mungkin ini sama saja dengan yang tadi” atau ”ah, tadi juga saya sudah bergini ternyata tidak ada” tapi Hajar terus berlari dengan penuh keyakinan ”pasti ALLAH akan mengurus kami, ALLAHlah yang akan menolong kami di sini”. Tentu berbeda pengejawantahannya ketika hanya memiliki motivasi sedikit, berpikir ”mungkin ada” dengan motivasi kuat dan berkeyakinan mendalam ”pasti ada pertolongan”. Karena tawakkal berarti melimpahkan seluruh urusan pada ALLAH ta’ala. Karena tawakkal lahir dari buah keimanan yang kuat.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sepenuhnya bertawakkal pada ALLAH? Seperti tawakkalnya ibunda Hajar yang sa’i dalam keadaan kehausan? Atau tawakkalnya ibunda Maryam yang menggoyang pohon kurma tepat setelah melahirkan? Ah, sepertinya saya masih harus terus belajar. Semoga bisa sampai.


Bukankah ALLAH yang mencukupi hambaNya? (Qs Az Zumar:36)


Rujukan:

Al Qur’an Al Karim
Al-Bilali, Abdul Hamid. 2006. Taujih Ruhiyah Pesan-pesan Spiritual Penjernih Hati jilid 1. Jakarta: An Nadwah
Al Hanafi, Muhammad bin Ahmad. 2005. Kisah Para Rasul Hiburan Bagi Orang Yang Berakal. Jakarta: Rihlah Press
gambar diambil dari pro.corbis.com