Suatu hari saya menghadiri sebuah talk show untuk ADS dan ADK, salah satu pembicaranya adalah seorang pakar pendidikan. Satu hal yang kemudian membuat simpati saya kepada pembicara tersebut jauh berkurang adalah kenyataan bahwa pakar pendidikan tersebut bertanya pada kami semua (dan ternyata pertanyaan ini senantiasa dia lontarkan setiap beliau menjadi pembicara di berbagai kesempatan) adalah “siapa disini yang pernah mencontek?”. Pertanyaan yang kemudian dijawab dengan acungan tangan kami semua (karena ternyata semua audience pernah mencontek di masa lalunya). Kemudian si pakar pendidikan inipun berkata “bagaimana dengan masa depan bangsa ini kalau pemudanya pernah mencontek!”
Begitulah manusia, sulit melupakan hal-hal negatif. Seperti sebuah peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga. Seolah-olah seseorang sudah tidak ada lagi kebaikannya kalau sudah melakukan sebuah kesalahan. Seperti kisah seorang teman yang karena sebuah kisah masa lalunya, kehidupannya saat ini jadi begitu sulit, banyak kesempatan yang harusnya dimilikinya tapi tidak dia dapatkan. Padahal masa lalunya, yang menurut orang lain bercela, sebenarnya karena fitnah dari orang lain terhadapnya, bukan kenyataan yang sebenarnya.
Betapa banyak mantan narapidana yang mengalami kesulitan dalam menjalani episode kehidupannya yang berikutnya karena pandangan masyarakat sekitarnya. Kecurigaan, rasa tidak percaya, dan pandangan meremehkan senantiasa mengikutinya kemana saja. Betapa banyak pasien Rumah Sakit Jiwa yang kembali lagi masuk dan dirawat disana setelah dinyatakan sembuh dan dipulangkan. Karena stigma negatif masyarakat kepadanya sebagai “pernah gila” dan omongan-omongan tetangga yang begitu santer “eh dia kan baru keluar dari RSJ”. Hal-hal yang memicu Gangguan Harga Diri-nya timbul lagi dan membuatnya kembali sakit. Itulah alasan kenapa kami (perawat) tidak menggunakan kata “gila” dan memilih “gangguan jiwa”.Maka pantaskah kita bila sampai saat ini masih saja mempermasalahkan “pernah”?
No comments:
Post a Comment