“Tidak bisa memperlakukan orang lain dengan baik”, itulah sebuah vonis seorang teman untuk saya. Konsep diri saya runtuh seketika. Mengetahui bahwa dalam lebih dari 20 tahun kehidupan tidak memperlakukan orang lain dengan baik sungguh pukulan besar.
Sesampainya di rumah (teman saya mengatakan itu di kampus), saya hanya di dalam kamar dan menangis. Kata-kata “tidak bisa memperlakukan orang lain dengan baik” terngiang-ngiang. Ketika saya menyadari kenapa saya begitu gampang down seperti ini dan saya bertanya-tanya apa yang harus saya lakukan, saya SMS seorang teman psikologi dan dia menyarankan agar saya mencari bantuan professional (huf..)
Tapi sungguh bukan itu yang akan saya bahas disini. Yang akan saya bahas adalah jawaban dari seorang teman bijak saya.
Keesokan harinya, ditengah ketakutan dan kemalasan saya untuk berinteraksi dengan orang lain, karena saya takut salah lagi, ditengah keengganan saya untuk hadir dalam forum atau acara sebagai orang yang banyak berbicara, ditengah rencana saya untuk kalaupun saya harus hadir, saya cukup menempatkan diri sebagai figuran, duduk manis mendengarkan, saya SMS seorang teman. Saya tanya padanya benarkah saya tidak memperlakukan orang lain dengan baik. Ternyata teman saya tidak membantah, dia membalas “untuk orang-orang yang perasa dan sensitive bisa jadi seperti itu. Tapi gw kan bukan tipe kaya gitu”. Sayapun balas “ho..jadi bener ya.hh..gw nangis-nangis semalem mikirinnya, jadi males berinteraksi dengan orang lain, karena gw takut salah terus”
Teman sayapun balas lagi “Ya ALLAH Pe..kadang kita emang harus nangis dulu untuk berbenah diri..Intinya jangan selalu berkata ‘I wanna be myself’ karena kita emang manusia yang banyak salah dan dosa..kadang kita juga harus liat dari mata dan dengar dari telinga orang lain untuk tau siapa kita. Tapi be grateful anyway..bersyukurlah!”
Luar biasa memang teman saya satu ini. Seringkali saya dinasehati untuk menjadi diri sendiri. Tapi kemudian saya teringat dengan judul blog ini. Kalau memang diri ini masih banyak kekurangan, lantas kenapa kita hanya mau menjadi diri sendiri. Kenapa kita tidak ingin menjadi setegar Sumayyah, secerdas ‘Aisyah, setangguh Nusaibah, kenapa kita hanya membatasi dengan menjadi diri sendiri?
Terimakasih untuk teman-teman yang tidak hanya mengkritik, tapi kemudian memberi solusi. Terimakasih untuk teman-teman yang tidak hanya melihat aib, tapi kemudian menasehati. Terimakasih untuk teman-teman yang masih menjadi bintang di langit kehidupan saya.
“Andai bukan karena bangun di waktu sahur dan berteman dengan orang-orang baik, niscaya aku tidak mau memilih tinggal di dunia ini” (Imam Syafi’i rahimahuLLAH)
Tidak ada satupun manusia yang sempurna, yang ada adalah manusia yang senantiasa memperbaiki diri..termasuk saya, semoga..
Monday, June 23, 2008
Thursday, June 5, 2008
(Maksa) Menunggu Tuan Atau Nona Sempurna
Seorang pria umur 37 tahun sedang mencari istri. Sebelumnya pria ini telah berkenalan dengan beberapa wanita, tapi tidak ada yang cocok. Usut punya usut, akhirnya dismpulkan bahwa sepertinya pria ini memilih pasangan hidup yang sederajat dengannya. Akhirnya dicarikanlah wanita yang kira-kira sesuai dengan latar belakang pria tersebut yang lulusan S2 di Jerman, anak mantan seorang anggota DPR. Dapatlah seorang wanita, umurnya 37 tahun, lulusan S2 di Inggris. "Mba tapi tolong carikan yang penampilannya lumayan (cantik -red) ya", kata sang mediator pria. "Iya, ini ceweknya cantik kok" kata mediator perempuan "aku udah tahu lah cowok itu pengen nyari yang kaya apa" katanya dalam hati.
Tapi akhirnya apakah pria ini cocok dengan wanita tersebut? "Dia maunya maksimal 30 (tahun) mba" si mediator pria berusaha menjelaskan kenapa akhirnya proses itu gagal lagi. Dan akhirnya pria itu meneruskan kisah membujangnya. Sudah 37 tahun dan masih maksa mencari yang sesuai dengan kriterianya yang begitu tinggi? saya tidak mengerti.
"Saya mau istri yang cantik, kaya, pinter, udah lulus kuliah, tapi masih 19 tahun" syarat yang membuat saya teringat dengan syarat dukun yang mau nyembuhin orang, "cari telor dari ayam yang masih perawan". Kalau mau perempuan cantik, kaya, berpenghasilan besar, masih belasan tahu, ada tuh banyak, lagi pada syuting sinetron remaja.
"Tolong cariin istri yang cantik, putih, tinggi, solehah," syarat yang mengingatkan saya ke masjid di deket rumah. Disana ada putih, tinggi, setiap waktu sholat pasti ada di masjid, ngga cuma satu lagi, kayaknya ada lima,tapi bukan manusia, tiang masjid.
Kita akan mendapat pasangan dari jenis kita sendiri kok, jadi sudahlah, hentikan memasang kriteria begitu tinggi.
Tapi akhirnya apakah pria ini cocok dengan wanita tersebut? "Dia maunya maksimal 30 (tahun) mba" si mediator pria berusaha menjelaskan kenapa akhirnya proses itu gagal lagi. Dan akhirnya pria itu meneruskan kisah membujangnya. Sudah 37 tahun dan masih maksa mencari yang sesuai dengan kriterianya yang begitu tinggi? saya tidak mengerti.
"Saya mau istri yang cantik, kaya, pinter, udah lulus kuliah, tapi masih 19 tahun" syarat yang membuat saya teringat dengan syarat dukun yang mau nyembuhin orang, "cari telor dari ayam yang masih perawan". Kalau mau perempuan cantik, kaya, berpenghasilan besar, masih belasan tahu, ada tuh banyak, lagi pada syuting sinetron remaja.
"Tolong cariin istri yang cantik, putih, tinggi, solehah," syarat yang mengingatkan saya ke masjid di deket rumah. Disana ada putih, tinggi, setiap waktu sholat pasti ada di masjid, ngga cuma satu lagi, kayaknya ada lima,tapi bukan manusia, tiang masjid.
Kita akan mendapat pasangan dari jenis kita sendiri kok, jadi sudahlah, hentikan memasang kriteria begitu tinggi.
Gagal Kok Direncanakan?
Beberapa bulan lalu, saat proses pemilihan dekan bergulir, di papan komunikasi di pasang kertas lebar yang didalamnya mahasiswa atau civitas academica yang lain bisa menyalurkan aspirasinya tentang harapan mereka terhadap dekan. Dari sekian banyak komentar yang ditulis, ada sebuah komentar yang menarik, "kembalikan kebijakan HER" (kira-kira begitu, maaf saya lupa redaksionalnya). Di fakultas saya memang tidak ada HER atau ujian perbaikan, jadi mahasiswa yang nilainya kurang atau tidak lulus ya terpaksa mengulang lagi mata kuliah tersebut.
Sekilas komentar atau aspirasi itu terlihat biasa saja, tapi kemudian saya baru menyadari kebodohannya ketika seorang dosen membahas di kelas. "Mahasiswa kok ngga berpikir positif sih? kok minta HER diadain lagi, berarti dia itu udah pesimis nilai ujiannya bakal jelek, makanya butuh HER". Anak-anak yang dengarpun sontak tertawa, iya ya meminta HER diadakan lagi sama saja pesimis dan memprediksikan akan punya nilai jelek di suatu hari.
Terjadi juga kemarin, teman sekelas saya menulis "besok tinggal nangis-nangis" (ini juga kira-kira, saya lupa redaksional persisnya) di status YMnya. Hari ini kami memang menjalani ujian untuk mata kuliah yang agak sulit, 4 SKS dan hapalannya banyak sekali. Tingkat kesulitan diperparah dengan keluarnya bahan UTS di UAS, jadi puluhan handout harus dipelajari. Apalagi pengalaman UTS kemarin untuk mata ajar ini yang subhanaLLAH susah, baik MCQ maupun essay. Tapi walaupun begitu, selama soal belum ditangan, dahi ini belum berkerut mengerjakan soal, seharusnya kita tidak pesimis dan bahkan merencanakan akan dibuat "nangis" oleh soal.
Satu contoh lagi, yaitu ketika technical meeting untuk kampanye hari anti tembakau sabtu lalu. Beberapa orang yang hadir mempertanyakan bagaimana teknis dan prediksi keberhasilan menegur para perokok agar mematikan rokoknya. Seseorang malah sampai mengeluarkan statement, "yah susah, apalagi kita tau kan perokok itu kan udah kecanduan sama rokoknya jadi kalo disuruh matiin dan cuma ditukar permen mereka pasti ngga mau, ngga sebanding" terus ditambah yang lain "ya..karena perokok itu sudah kecanduan dengan rokok dan pasti bakal susah disuruh matiin rokoknya kalau gitu kita ngga usah maksa..bla-bla".
Merencanakan kegagalan, itulah yang terjadi. Kedengarannya mustahil, tapi itulah yang terjadi. Padahal gagal dalam merencanakan saja sudah berarti merencanakan kegagalan, lantas bagaimana hasilnya kalau dari awal kegagalan itu sudah direncanakan? Semoga kita terhindar dari hal-hal demikian.
Sekilas komentar atau aspirasi itu terlihat biasa saja, tapi kemudian saya baru menyadari kebodohannya ketika seorang dosen membahas di kelas. "Mahasiswa kok ngga berpikir positif sih? kok minta HER diadain lagi, berarti dia itu udah pesimis nilai ujiannya bakal jelek, makanya butuh HER". Anak-anak yang dengarpun sontak tertawa, iya ya meminta HER diadakan lagi sama saja pesimis dan memprediksikan akan punya nilai jelek di suatu hari.
Terjadi juga kemarin, teman sekelas saya menulis "besok tinggal nangis-nangis" (ini juga kira-kira, saya lupa redaksional persisnya) di status YMnya. Hari ini kami memang menjalani ujian untuk mata kuliah yang agak sulit, 4 SKS dan hapalannya banyak sekali. Tingkat kesulitan diperparah dengan keluarnya bahan UTS di UAS, jadi puluhan handout harus dipelajari. Apalagi pengalaman UTS kemarin untuk mata ajar ini yang subhanaLLAH susah, baik MCQ maupun essay. Tapi walaupun begitu, selama soal belum ditangan, dahi ini belum berkerut mengerjakan soal, seharusnya kita tidak pesimis dan bahkan merencanakan akan dibuat "nangis" oleh soal.
Satu contoh lagi, yaitu ketika technical meeting untuk kampanye hari anti tembakau sabtu lalu. Beberapa orang yang hadir mempertanyakan bagaimana teknis dan prediksi keberhasilan menegur para perokok agar mematikan rokoknya. Seseorang malah sampai mengeluarkan statement, "yah susah, apalagi kita tau kan perokok itu kan udah kecanduan sama rokoknya jadi kalo disuruh matiin dan cuma ditukar permen mereka pasti ngga mau, ngga sebanding" terus ditambah yang lain "ya..karena perokok itu sudah kecanduan dengan rokok dan pasti bakal susah disuruh matiin rokoknya kalau gitu kita ngga usah maksa..bla-bla".
Merencanakan kegagalan, itulah yang terjadi. Kedengarannya mustahil, tapi itulah yang terjadi. Padahal gagal dalam merencanakan saja sudah berarti merencanakan kegagalan, lantas bagaimana hasilnya kalau dari awal kegagalan itu sudah direncanakan? Semoga kita terhindar dari hal-hal demikian.
Subscribe to:
Posts (Atom)