Thursday, June 5, 2008

Gagal Kok Direncanakan?

Beberapa bulan lalu, saat proses pemilihan dekan bergulir, di papan komunikasi di pasang kertas lebar yang didalamnya mahasiswa atau civitas academica yang lain bisa menyalurkan aspirasinya tentang harapan mereka terhadap dekan. Dari sekian banyak komentar yang ditulis, ada sebuah komentar yang menarik, "kembalikan kebijakan HER" (kira-kira begitu, maaf saya lupa redaksionalnya). Di fakultas saya memang tidak ada HER atau ujian perbaikan, jadi mahasiswa yang nilainya kurang atau tidak lulus ya terpaksa mengulang lagi mata kuliah tersebut.

Sekilas komentar atau aspirasi itu terlihat biasa saja, tapi kemudian saya baru menyadari kebodohannya ketika seorang dosen membahas di kelas. "Mahasiswa kok ngga berpikir positif sih? kok minta HER diadain lagi, berarti dia itu udah pesimis nilai ujiannya bakal jelek, makanya butuh HER". Anak-anak yang dengarpun sontak tertawa, iya ya meminta HER diadakan lagi sama saja pesimis dan memprediksikan akan punya nilai jelek di suatu hari.

Terjadi juga kemarin, teman sekelas saya menulis "besok tinggal nangis-nangis" (ini juga kira-kira, saya lupa redaksional persisnya) di status YMnya. Hari ini kami memang menjalani ujian untuk mata kuliah yang agak sulit, 4 SKS dan hapalannya banyak sekali. Tingkat kesulitan diperparah dengan keluarnya bahan UTS di UAS, jadi puluhan handout harus dipelajari. Apalagi pengalaman UTS kemarin untuk mata ajar ini yang subhanaLLAH susah, baik MCQ maupun essay. Tapi walaupun begitu, selama soal belum ditangan, dahi ini belum berkerut mengerjakan soal, seharusnya kita tidak pesimis dan bahkan merencanakan akan dibuat "nangis" oleh soal.

Satu contoh lagi, yaitu ketika technical meeting untuk kampanye hari anti tembakau sabtu lalu. Beberapa orang yang hadir mempertanyakan bagaimana teknis dan prediksi keberhasilan menegur para perokok agar mematikan rokoknya. Seseorang malah sampai mengeluarkan statement, "yah susah, apalagi kita tau kan perokok itu kan udah kecanduan sama rokoknya jadi kalo disuruh matiin dan cuma ditukar permen mereka pasti ngga mau, ngga sebanding" terus ditambah yang lain "ya..karena perokok itu sudah kecanduan dengan rokok dan pasti bakal susah disuruh matiin rokoknya kalau gitu kita ngga usah maksa..bla-bla".

Merencanakan kegagalan, itulah yang terjadi. Kedengarannya mustahil, tapi itulah yang terjadi. Padahal gagal dalam merencanakan saja sudah berarti merencanakan kegagalan, lantas bagaimana hasilnya kalau dari awal kegagalan itu sudah direncanakan? Semoga kita terhindar dari hal-hal demikian.

No comments: